Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala yang memberikan nikmat
yang tiada terkira, mengalir tiada henti. Semoga kita menjadi hamba-Nya
yang senantiasa bersyukur atas segala nikmat dalam kondisi apapun.
Dengan bersyukur, Allah akan menambahkan nikmat; saat kita kufur,
ingatlah azab-Nya begitu pedih. Tanda syukur kita pada-Nya, yaitu
mendayagunakan segala macam nikmat yang ada dijalan yang Ia ridhai. Bukan digunakan untuk bermaksiat, tanpa takut akan azab-Nya.
Inilah
kisah tentang penjaga kebun anggur, mubarak namanya. Suatu hari tuannya
datang, meminta mubarak mengambilkan anggur yang matang. Pergilah ia
mengambilkan anggur yang paling keras untuk diberikan kepada tuannya,
maka saat dicicipi; rasanya begitu masam. Lalu tuannya menyuruh mubarak
untuk mencarikan lagi anggur yang matang. Maka dia berpikir; jika anggur
yang masih keras itu tidak manis, mungkin anggur yang termanis adalah
yang lembek, bergegaslah ia untuk mencari anggur tersebut. Datanglah
mubarak kepada tuannya sembari memberikan anggur yang lembek tersebut.
Terheranlah tuannya. Sebelumnya mubarak membawakan anggur yang masih
mentah, kali ini dia membawa anggur yang busuk.
Tuannya kemudian bertanya, "Sudah berapa lama engkau menjaga kebun in?" Jawab mubarak, saya telah bekerja selama 3 bulan.
Maka
tuannya pun heran, mengapa telah tiga bulan menjaga kebun namun tak
juga bisa bedakan mana buah yg masak nan manis, mana yang tidak?
Ditanyai demikian, mubarak menjawab, "Sebab saya ditugaskan menjaga
kebun, bukan memakan buahnya." ucapnya. Seketika, sang tuan pun kagum.
Kebagusan
akhlaknya, kejujuran dalam mengemban amanah yang begitu ia jaga.
Membuat sang tuan berdecak kagum, hingga pada suatu hari sang tuan pun
bertanya kepada mubarak. "Wahai mubarak, putriku telah dilamar oleh
begitu banyak lelaki. Bagaimana sebaiknya aku memilih diantara mereka?"
Maka
dengan kepolosan dan kejujurannya mubarak memberikan masukan, "Jika
tuan menikahkan putri tuan karena nasab belaka, maka itu adalah
kebiasaan orang-orang Quraisy jahiliyah. Mereka itu hanya
mempertimbangkan nasab saat menikahkan putrinya." ujarnya.
"Namun jika Tuan hanya pertimbangkan paras dan keelokan wajah, itu sama saja dengan orang Nasrani.."
Lanjutnya. "Sementara jika pertimbangannya adalah harta, maka demikian pula Yahudi.",
Mubarak
menjelaskan. "Nah, Tuan inikan seorang mukmin yang shalih. Maka tentu
sudah seharusnya pertimbangan dalam memilih menantu adalah sebab
agamanya."
Sang Tuan tersenyum, tanpa pikir panjang, ia
berkata pada mubarak, "Jika begitu, maka ikutlah denganku, akan aku
nikahkan kau dengan putriku", ujar sang Tuan. Maka menikahlah mubarak
dengan putri dari tuannya. Dari pernikahan tersebut lahirlah Abdullah
ibn Mubarak, seorang tabi'in. Begitu dikenal keluasan ilmu dan dalamnya
kepemahaman, tentang kedermawanannya, sikap zuhud dan wara, akhlak yang
begitu indah, dan selalu berusaha menyembunyikan amal shalihnya dari
manusia.
Balasan yang begitu indah dari Ilahi Rabbi, Dzat
yang Maha Sempurna. Atas ikhtiar menjalani hidup dalam ketaatan
pada-Nya, mubarak mengemudi hatinya dijalan yang lurus. Semata-mata
untuk gapai ridha-Nya. Muraqabah inilah asas dalam ketaqwa'an pada-Nya,
seperti yang ditulis Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddin.
Mubarak benar-benar merasakan pengawasan-Nya, yang Maha Melihat atas
segala sesuatu yang kita perbuat. Saat amal itu dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, tak diakui, dirasa kecil, ia senantiasa takut dalam
gerak-geriknya apabila memancing murka Ilahi. Hingga ia senantiasa
berikhtiar dalam kesungguhan untuk melewati tiap detak-detik waktu dalam
ketaatan, menghindari segala larangan-Nya.
Maka setiap
proses yang dijalani dalam tunaikan amal shalih, harus sesuai
syariat-Nya dan ittiba kepada Rasulillah. Kita bercermin pada kisah
mubarak, ada balasan terindah dari Allah Ta'ala yang Maha Terpacaya. Ia
tidak akan pernah menyianyiakan amal shalih setiap hamba-Nya, bahkan
saat amal shalih itu baru bertumbuh dalam bentuk niat. Akan ada pahala,
saat benar-benar karena Ilahi. Seperti Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
yang tertulis dalam surat Ar-Rahman ayat ke 60, "Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan pula."
Pasangan
hidup, ia adalah bagian dari rizqi yang telah Allah Ta'ala tetapkan.
Maka cara kita menjemputnya adalah ujian. Yang menentukan tentang teraih
keberkahan dan tergapai ridha-Nya atau tidak. Bukan dengan menghalalkan
segala cara, berani melanggar pagar-pagar Ilahi. Karena keberkahan dan
ridha-Nya tak akan pernah didapati dengan cara yang langgar syariat-Nya.
Maka
jujurlah pada hati; agamalah pertimbangan utama. Yang selain itu, jika
condong pada hawa nafsu, pilihlah yang berlawanan. Jika paras dan
keelokan wajah yang tergerak, pilihlah selainnya. Jika kekayaan yang
membuatnya berminat, ambillah yang diseberangnya. Mengingkari hawa nafsu
kan jadi jalan menuju ridha-Nya. Adalah Hasan Al-Bashri ketika diminta
menasihati Umar Ibn Abdil Aziz. Maka durhakailah hawa nafsumu.
Memohon
ampunlah pada Allah yang Maha Pengampun, Maha Pemaaf. Apabila dalam
tapak-tapak kita menjemput pasangan hidup, menggunakan cara yang tak
disukai Allah Ta'ala. Akhiri dengan taubatan nasuha, istighfari agar tak
terulang lagi, dan menyusuli apa yang sudah terjadi dengan amal
kebajikan yang disukai-Nya. Jadilah pemandu atas rasa cintamu,
karena-Nya. Ikatan keimananlah yang akan menjaga saat raga berjauhan,
ketika rupa tak lagi memiliki makna, ketika jasad sudah rapuh. Maka
komintmen atas dasar keimanan dan cinta pada-Nya yang akan terus
menguatkan. Cinta yang bersujud di mihrab taat, hingga mengantarkan kita
menuju surga-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar