Tak ada yang lebih
jernih dari suara hati, ketika ia menegur tanpa suara. Teguran yang begitu
halus, begitu bening, begitu dalam. Tak
ada yang lebih jujur dari nurani, saat ia menyadarkan kita tanpa kata-kata.
Nasehatnya begitu hening, dan kita tak kuasa menyangkal. Tak ada yang lebih
tajam dari mata hati, ketika ia menghentak kita beragam kesalahan dan alpa.
Begitu tipis, begitu mengiris. Berbahagialah orang-orang seluruh waktunya
dipenuhi kemampuan untuk jujur pada nurani dan tulus mendengarkan suara hati.
“Mintalah fatwa kepada
hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tentram jiwanya, dan tentram pula
dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa
yang syak dalam jiwa, dan ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang memberikan fatwa
kepadamu dan mereka membenarkanmu. “(H.r. Muslim)
Hati bicara tanpa kata,
menjawab tanpa suara dan sering menyengat tanpa melihat. Tapi ia terasa. Sebab,
dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita mengambil kiblatnya. Dari sana
amal-amal dan segala proses kehidupan kita menapakan pijakannya berupa niat dan
tekad. Maka Rasululloh menggambarkan , bahwa hati adalah raja. Jika ia
berdenyut baik, maka baik pula seluruh raga yang berdetak dalam iramanya. Jika
ia rusak , maka rusak pula semuanya.
Setiap kita punya hati,
dan didalamnya nurani kita terus bergelatar menyuarakan pesan Ilahi. Permasalahanya kemudian adalah
bisa tidaknya pesan nurani itu bergerak
keluar menembus dinding hati lalu terdengar. Sering kali ia hanya berbisik. Tak
jelas, atau bahkan terbungkam. Itu karena karat-karat dosa menjerujinya . Kemudian, setiap suara hati hanya mampu
menggetarkan jeruji-jeruji itu. Hingga
seringkali kita mengira suatu bisikan sebagai suara hati, padahal itu adalah geretak
jeruji dosa dan palang-palang nafsu. Nurani yang berbisik, menyakiti hawa nafsu
yang mengungkungnya. Lalu hawa nafsu itu berteriak nyaring. Dan dialah yang
kita dengar.
Setiap
kemaksiatan yang
kita lakukan noktah dosa yang menghitamkan hati. Awalnya, nurani kita
akan selalu mengirimkan tanda bahwa ia tersakiti. Tapi ketika hawa
diperturutkan, dan maksiat terus dilakukan, diulang dan diulang,
noktah-noktah
hitam telah menjadi jeruji, membelenggu nurani hingga suaranya makin
lirih.
Padahal satu noktah dosa selalu mengundang teman-temanya. Hingga satu
ketika,
hati mati rasa. “Hukuman terberat atas suatu dosa”, kata ibnul jauzi
dalam
Shaidul khathir, “ adalah perasaan tidak berdosa.” Ya, karena merasa tak
berdosa adalah kain kafan yang membungkus hati ketika ia mati.
Mengotori hati dengan
dosa, sama artinya dengan meredupkan cahayanya dan memadamkan nyalanya.
Bermaksiat adalah kerja untuk mengeruhkan kejernihan hati dan menumpulkan
ketajaman hati. “Sesungguhnya dosa-dosa itu”, kata Rasululloh, “Apabila terus
menerus menimpa hati, maka ia akan menutupinya. Dan bila hati telah tertutup,
akan datang kunci dan cap dari Allah. Bila sudah demikian tak ada lagi baginya
jalan keimanan untuk masuk kedalamnya, tidak juga jalan kekafiran untuk keluar
darinya.”
Kadang kita memerlukan
saat-saat sepi untuk bertanya pada hati. Dalam tafakur di malam yang sunyi
misalnya, mudah-mudahan bisikan nurani
itu terdengar dengan lebih jelas. Atau suatu waktu kita mengambil jeda dari
rutinitas, mengisinya dengan aktivistas ruhani. Mudah-mudahan saat itu kita
mengenali suara hati diantara bising-bising nafsu.
Lebih jauh lagi, kita
harus mengakrabkan hati dengan wahyu Ilahi. Karena mereka bersaudara. Karena
mereka membawa pesan cinta yang sama. Untuk kita, maka alangkah syahdunya hati
nurani yang hari-harinya ditingkahi tilawah
suci. Lalu kita mentadaburinya, lalu kita kaji tafsirnya. Maka hati kita akan
tersenyum bahagia menjadikan Al-Quran kawan bergandengtangan. Membimbing kita.
Maka nurani akan berbisik lebih mesra. Hingga kita bahagia mendengar bisikannya
yang menyemangati kita berbuat taqwa dijalan yang diridhai-Nya.
~Salim A.
Fillah dalam buku "Jalan Cinta Para Pejuang"~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar