Senin, 05 Januari 2015

Bertanya pada Hati

yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemunkaran dan dosa. Jika suatu kedurhakaan berulangkali dikerjakan, maka jiwa menjadi akrab dengannya hingga ia tak lagi peka, mati rasa.” ~Hasan Az-Zayyat, Rahimahullah~
Tak ada yang lebih jernih dari suara hati, ketika ia menegur tanpa suara. Teguran yang begitu halus, begitu bening, begitu dalam.  Tak ada yang lebih jujur dari nurani, saat ia menyadarkan kita tanpa kata-kata. Nasehatnya begitu hening, dan kita tak kuasa menyangkal. Tak ada yang lebih tajam dari mata hati, ketika ia menghentak kita beragam kesalahan dan alpa. Begitu tipis, begitu mengiris. Berbahagialah orang-orang seluruh waktunya dipenuhi kemampuan untuk jujur pada nurani dan tulus mendengarkan suara hati.
“Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tentram jiwanya, dan tentram pula dalam hati.  Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa, dan ragu-ragu dalam hati, meski orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkanmu. “(H.r. Muslim)
Hati bicara tanpa kata, menjawab tanpa suara dan sering menyengat tanpa melihat. Tapi ia terasa. Sebab, dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita mengambil kiblatnya. Dari sana amal-amal dan segala proses kehidupan kita menapakan pijakannya berupa niat dan tekad. Maka Rasululloh menggambarkan , bahwa hati adalah raja. Jika ia berdenyut baik, maka baik pula seluruh raga yang berdetak dalam iramanya. Jika ia rusak , maka rusak pula semuanya.
Setiap kita punya hati, dan didalamnya nurani kita terus bergelatar menyuarakan  pesan Ilahi. Permasalahanya kemudian adalah bisa tidaknya pesan nurani  itu bergerak keluar menembus dinding hati lalu terdengar. Sering kali ia hanya berbisik. Tak jelas, atau bahkan terbungkam. Itu karena karat-karat dosa menjerujinya .  Kemudian, setiap suara hati hanya mampu menggetarkan jeruji-jeruji itu.  Hingga seringkali kita mengira suatu bisikan sebagai suara hati, padahal itu adalah geretak jeruji dosa dan palang-palang nafsu. Nurani yang berbisik, menyakiti hawa nafsu yang mengungkungnya. Lalu hawa nafsu itu berteriak nyaring. Dan dialah yang kita dengar.
Setiap kemaksiatan yang kita lakukan noktah dosa yang menghitamkan hati. Awalnya,  nurani kita akan selalu mengirimkan  tanda bahwa ia tersakiti. Tapi ketika hawa diperturutkan, dan maksiat terus dilakukan, diulang dan diulang, noktah-noktah hitam telah menjadi jeruji, membelenggu nurani hingga suaranya makin lirih. Padahal satu noktah dosa selalu mengundang teman-temanya. Hingga satu ketika, hati mati rasa. “Hukuman terberat atas suatu dosa”, kata ibnul jauzi dalam Shaidul khathir, “ adalah perasaan tidak berdosa.” Ya, karena merasa tak berdosa adalah kain kafan yang membungkus hati ketika ia mati.
Mengotori hati dengan dosa, sama artinya dengan meredupkan cahayanya dan memadamkan nyalanya. Bermaksiat adalah kerja untuk mengeruhkan kejernihan hati dan menumpulkan ketajaman hati. “Sesungguhnya dosa-dosa itu”, kata Rasululloh, “Apabila terus menerus menimpa hati, maka ia akan menutupinya. Dan bila hati telah tertutup, akan datang kunci dan cap dari Allah. Bila sudah demikian tak ada lagi baginya jalan keimanan untuk masuk kedalamnya, tidak juga jalan kekafiran untuk keluar darinya.”
Kadang kita memerlukan saat-saat sepi untuk bertanya pada hati. Dalam tafakur di malam yang sunyi misalnya, mudah-mudahan  bisikan nurani itu terdengar dengan lebih jelas. Atau suatu waktu kita mengambil jeda dari rutinitas, mengisinya dengan aktivistas ruhani. Mudah-mudahan saat itu kita mengenali suara hati diantara bising-bising nafsu.
Lebih jauh lagi, kita harus mengakrabkan hati dengan wahyu Ilahi. Karena mereka bersaudara. Karena mereka membawa pesan cinta yang sama. Untuk kita, maka alangkah syahdunya hati nurani yang  hari-harinya ditingkahi tilawah suci. Lalu kita mentadaburinya, lalu kita kaji tafsirnya. Maka hati kita akan tersenyum bahagia menjadikan Al-Quran kawan bergandengtangan. Membimbing kita. Maka nurani akan berbisik lebih mesra. Hingga kita bahagia mendengar bisikannya yang menyemangati kita berbuat taqwa dijalan yang diridhai-Nya.
~Salim A. Fillah dalam buku "Jalan Cinta Para Pejuang"~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar